BELAJAR UNTUK HIDUP II HIDUP UNTUK BELAJAR II SEBAIK BAIK ORANG HIDUP ADALAH YANG SELALU BELAJAR
Minggu, 02 Agustus 2015
BERKOMUNIKASI MELIBATKAN PIKIRAN, PERASAAN DAN TUHAN
Belakangan saya menjadi sangat berhati-hati dalam menyampaikan sebuah maksud, pesan atau informasi. Bahkan dalam berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal saya lebih berusaha seefektif dan semaksimal mungkin menjadi orang yang “menyenangkan” bagi orang yang saya temui. Dan sebagai Muslim saya melakukan itu dengan “niat” yang tulus dan ikhlas. Begitu juga saya tidak mempedulikan respon dari mereka, apakah mereka berpikir saya pura-pura baik, cari perhatian atau memang punya iktikad baik. Bahkan ketika saya menulis tulisan ini, dan pembaca menilai bahwa tulisan saya ini apakah ada maksud tertentu atau apapun. Begitulah pikiran, begitu liar, begitu bebas mengapresiasikan semua realitas sesuai dengan selera masing-masing.
Inti dari berkomunikasi sebagaimana yang saya pelajari di NLP dan Hypnosis adalah bagaimana kita mempengaruhi orang lain dengan cara elegan dan menggunakan pattern tertentu agar komunikasi dapat berjalan dengan baik. Ada teknik “pre induction” atau “building rapport”, yang saya pahami tidak hanya digunakan ketika proses hypnotherapy atau dalam sesi terapi saja. Tapi dalam konteks yang lebih luas, dalam komunikasi harian pun setiap saat saya gunakan, dan saya yakin sekali Pembaca juga melakukannya baik yang pernah belajar NLP-Hypno atau pun bukan. Dalam sesi dakwah, ceramah atau khutbah, saya juga gunakan teknik ini untuk membantu jama’ah dapat menyerap apa yang akan saya sampaikan. Teknik-teknik lainnya seperti “utilisasi” yang pernah saya gunakan ketika berdo’a dalam sebuah perayaan kenegaraan.
Pemanfaatan teknik-teknik berkomunikasi dalam NLP-Hypno yang saya sebutkan di atas dalam konteks mono-communication. Artinya, saya yang berperan dalam berkomunikasi, dan orang lain sebagai pendengar, klien atau peserta kegiatan training, seminar, diskusi dsb. Nah, yang akan saya ungkapkan ini sangat berhubungan dengan “bagaimana” Anda menyampaikannya, bukan “apa” yang Anda sampaikan. Artinya, dalam berkomunikasi “respon” orang lain terhadap kita bergantung dari “bagaimana” Anda menyampaikannya”, karena secara verbal persepsi orang terhadap “apa yang disampaikan” hanya berkisar 7 %. Sementara itu, pengaruh non-verbal (bahasa tubuh) 55 % dan intonasi (ritme) suara sebesar 38 %. Nah, dalam konteks non-verbal kalau digabungkan bisa mencapai 93 %. Coba Pembaca bayangkan, sekiranya meniru gaya Olga lagi ngebanyol sama Rafi “Eh.......dasar lo ye.....nggak gaul gitu loooo......” dengan intonasi mendayu dan bahasa tubuh ala Olga yang sangat ayu untuk seorang laki-laki tulen. Lucunya Pembaca, si Rafi yang mendengarkan, tertawa terbahak-bahak, dan membalas dengan perkataan yang tidak kalah lucu dan menyebalkan bagi kita yang tidak masuk dalam “state” mereka. Coba Pembaca bayangkan, sekiranya kata-kata si Olga diucapkan oleh orang lain bahkan orang dekat Anda, tapi dengan intonasi menghardik dan melipat dahi. Dipastikan terpesona dengan kejengkelannya bukan?? Bahkan kata-kata baik pun, seperti pendakwah, yang lebih berfokus pada verbalisme, intonasi yang menggelegar dan tidak pernah turun, serta bahasa tubuh yang mengarahkan jemaah sebagai terdakwa, bisa dipastikan jemaahnya kabur, blocking dan punya citra yang kurang baik terhadap oknum pendakwah tersebut.
Dalam konteks komunikasi ada beberapa pola NLP Presupposition “the mind, body are one system, and affect each other”, (Pikiran dan tubuh adalah satu sistem, dan saling mempengaruhi satu sama lain). atau “People respond according their map” (Orang merespon sesuatu berdasarkan peta pikiran mereka) dan “the map is not the territory” (Peta bukan wilayah). Sebagai Seorang Pembelajar, terkadang saya sendiri belum memahami secara utuh tentang bagaimana mengaplikasikan presupposisi ini dengan baik sesuai dengan tujuan dan pemanfaatnnya. Bahkan sesuai dengan penjelasan dari guru saya Bapak Arlin Teguh Ardani, pemanfaatan pattern NLP tidak boleh sebagian-sebagian, harus integral. Di dalam NLP kita juga mempelajari tentang state, Neouro Logical Level, Representational System, Submodality dsb.
Berdasarkan yang saya amati, pemanfaatan teknik-teknik di NLP dan Hypno yang memang saling berkaitan tersebut, bahwa di dalam NLP ada Hypno-nya, di dalam Hypno ada NLP-nya, namun saya lebih fokus kepada persoalan state (kondisi pikiran dan perasaan), yang justeru dalam berkomunikasi lebih banyak mengedepankan kondisi pikiran. Lalu bagaimana perasaan? Dalam bahasa Bapak Ikhwan Sofa, dalam managemen pikiran dan perasaan, ternyata ditemukan di dalamnya kompetensi-kompetensi yang beraneka ragam dan saling berhubungan. Saya mengibaratkannya yangs aseperti tali temali jaringan kabel komputer atau jaringan listerik yang saling mengeluarkan arus energi. Maka saya sangat setuju dengan Pak Ikhwan Sofa, keterlibatan pikiran dan berkomunikasi semestinya juga mempengaruhi keterlibatan perasaan. Untuk materi yang terakhir, sepertinya saya harus berguru langsung dengan Pak Ikhwan Sofa, InsyaAllah.
Untuk itu, satu hal yang saya yakini, mencukupkan diri dengan teknik-teknik NLP-Hypno saja untuk merespon sebuah komunikasi yang saling memberdayakan tidak hanya berkutat di wilayah pembentukan “mind startegy” saja, tapi juga soul, jiwa. Saya teringat dengan firman Allah SWT Q.S.4: 63.........................dan berkatalah kepada mereka dengan pembicaraan yang berbekas pada “jiwa” mereka”. Berbekas pada jiwa, begitu indahnya untaian kalam Allah untuk memberikan rangsangan sprituil kepada kita dalam berkomunikasi.
Saling menghargai, saling memotivasi, saling memberi, saling menebar manfaat. Berkomunikasi itu haruslah menggunakan pattern “salingisme”, atau dalam bahasa Arab “mufa’alah”, tergantung apakah Anda mencari sendiri saling itu, atau menjemputnya. Karena itu, seperti kata guru saya Abi Ceekha Sev, dalam berkomunikasi libatkan “hati”, jiwa, spirit ilahi. Saya pernah berkenalan dengan seorang teman seorang yang sangat ‘alim sekali, sholat nya terlihat sangat khusyuk, ketika pertama kali bertemu saya melihatnya justeru lebih jarang bergaul/berkomunikasi dengan sesama. Bahkan sebagian teman di sekitar mencapnya alim kok sombong. Tapi, saya punya cara pandang lain, beliau justeru terlalu komunikatif dengan Tuhan. Sedikit merespon kawan saya yang jarang berkomunikasi dengan Tuhan.
Hal yang perlu saya sampaikan dalam tulisan ini adalah, berhati-hatilah dalam berbicara dan berkomunikasi. Bila terlanjur atau lupa atau sama sekali atau tidak berpikir apa-apa, InsyaAllah hati dan jiwa kita akan menuntun untuk perbaikan-perbaikan diri. Karena dalam setiap huruf yang kita ucapkan akan dilihat, didengar dan direkan oleh Allah SWT. Tuhan pun ikut dalam komuniaksi kita. Hindarilah mencap Saudara yang kurang komunikatif dengan bahasa munafik, sensitif, kuper, kuser (kurang serius), atau seabrek sitilah lainnya. Biarlah Allah SWT yang berhak mencap orang, sama halnya saya tak berani menilai Anda dengan orang yang berhati mulia. Kemuliaan dan keutamaan sepenuhnya titel dari Allah Ta’ala. Tugas saya dan kita semua “saling meningatkan”. INSYA ALLAH.....
Wassalamu’alaikum wrwb......
#SalamPlong
Mediya Putra
Trainer, Terapis, Mediator
Komunikasi Hati Inst
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar